Setiap hari aku selalu mendengar, baik dari media cetak maupun televisi, adanya para pejabat yang korupsi. Berita itu seakan sudah menjadi rutinitas keseharian di republik ini. Jarang sekali aku mendengar seorang tukang sapu jalanan melakukan korupsi. Atau seorang tukang becak, pengamen, penjahit, penjual sayur dan orang-orang yang senasib dengan mereka melakukan korupsi.
Para koruptor biasanya berpendidikan tinggi, sehingga menguasai "manajemen korupsi". Mereka berprinsip untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya guna memuaskan nafsu duniawi. Pada hal sebagai manusia kita tidak bisa merasa puas. Selalu dan selalu kita ingin yang lebih.
Suatu malam aku berpikir: bukankah kita hidup ini "hanya untuk makan dan sex?". Coba anda bayangkan: kita seharian membanting tulang hanya untuk makan. Kalaupun uang kita juga untuk menyekolahkan anak-anak kita, bukankah mereka juga mempunyai tujuan untuk dapat bekerja nantinya? Tapi disini kita dapat menarik hikmahnya: kita hidup untuk makan atau makan untuk hidup?
Pernah suatu hari aku pergi ke pesta pernikahan tetangga di sebuah gedung pertemuan yang megah. Tentunya hidangannya juga yang enak-enak. Akupun memilih makanan kesukaanku seenaknya sendiri, maksudnya tidak ada yang melarang. Sate, daging ayam, telur burung dara, kerupuk udang, ikan laut, dan masih banyak lagi aku masukkan ke dalam piring. Tak ketinggalan nasi tentunya. Kalau anda tahu gunung Merapi di Yogyakarta, seperti itulah keadaan piringku saat itu. Menggunung. Persis seperti Monumen Yogya Kembali. Maka dengan lahapnya aku makan nasi dengan lauknya, tapi lebih tepatnya aku makan dengan lauk nasi, sebab perbandingan lauknya lebih banyak daripada nasinya. Setelah selesai tak lupa kusambar Ice Cream, dawet, dan sprite. Hasilnya? Perut merasa kekenyangan. Tapi aku jadi kaget, semua yang kumakan tadi terasa enaknya hanya pas di mulut dan tenggorokan. Setelah sampai di perut sudah tidak terasa enaknya. Yang terasa kini hanya perut yang kenyang, persis seperti ketika aku habis makan ketela rebus, jagung rebus atau nasi dengan lauk bothok dan tempe goreng. Aku jadi berpikir: kalau hasil dari makan "hanya" untuk mengenyangkan perut, kenapa harus makan yang enak-enak yang nota bene mahal? Bukankah lebih baik makan makanan yang sederhana saja sehingga kita tidak harus mengeluarkan uang yang banyak. Kalau kita harus mengeluarkan banyak duit, sedangkan hasil kita "pas-pasan", tentunya mau tidak mau harus melakukan KORUPSI.
Korupsi akan selalu ada sepanjang manusia tidak sadar akan nikmatnya hidup sederhana. Maaf, rakyat kecil yang "tidak mampu" melakukan korupsi sudah terbiasa dengan kesederhanaan dalam kesehariannya. Keadaanlah yang mengajari mereka untuk hidup sederhana. Tapi toh mereka merasa enjoy dengan keadaannya itu: hidup sederhana sudah merasa puas.
Tadi malam istriku bilang: Pak, berasnya sudah habis. Aku memang terbiasa membeli beras cuma 1 atau 2 kg. Biar "stok" berasnya selalu baru. Pada hal mau beli 100 kg pun aku tidak mampu. Setahun sekali memang aku usahakan untuk beli beras 12,5 kg sekaligus, tapi aku antarkan ke masjid untuk zakat. Dan selama ini alhamdulilah tak ada tetangga yang tahu kalau aku "hanya mampu" membeli beras 1 atau 2 kg setiap harinya. Yang mereka tahu keluargaku sehat-sehat semua. Dan biar besuk pagi anak-anak pada bisa sarapan, aku langsung pergi ke warung sebelah untuk memborong beras seberat 2 kg, cukup untuk hidup 2 hari. Lalu lauknya? Boro-boro lauk, sayurnya pun aku cari di kebun. Kebetulan aku menanam ketela, bayam, pepaya, dan lain-lain. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan di dapur.
Hidup sederhana sudah aku jalani bertahun-tahun, semenjak kecil sampai kini sudah menanggung beban 3 anak. Kadang aku bercita-cita untuk menjadi orang besar, seperti yang kucita-citakan waktu kecil. Tapi kini aku takut menjadi orang besar, karena aku takut bisa melakukan korupsi. Biarkanlah rumahku terbuat dari anyaman bambu, yang tetap berdiri kokoh bila terjadi gempa. Biarkanlah aku tidak punya mobil, yang tidak pusing bila ada kenaikan bbm. Biarkanlah aku memakai sendal jepit, yang tidak harus beli semir. Karena aku merasa beruntung: masih bisa tersenyum dalam kesederhanaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar